Sebuah Pengantar tentang Filsafat
Steve Laurent Montong
Midjourney
“We all need to be challenged out of our mistakes, stupidities, complacencies—especially when it is our own intellectual blinkers that prevent us from seeing them as such. This is the preeminent role of philosophy”
(Priest, G. 2006)
Satu hal terpasti yang perlu menjadi pertanyaan kita semua—sebagai pembelajar filsafat—adalah, “Apa itu filsafat?” Pertanyaan ini menjadi fundamental dan perlu untuk dicermati baik-baik mengingat kita semua akan mempelajari dan menggulati filsafat sepanjang waktu, setidaknya bila kita menyukainya. Namun, tampaknya, jawaban atas pertanyaan, “Apa itu filsafat?” tidak sesederhana, “Apa itu matematika, fisika, dan sejarah?” misal, yang pakar di bidangnya selalu piawai dan sigap menjawab pertanyaan tersebut. Seorang logikawan, Graham Priest (2006), menganalogikannya dengan mudah: “Kita boleh jadi mengetahui dengan pengalaman apa itu bernapas, tetapi tidak otomatis mengetahui sifat, mekanisme, dan fungsinya”. Pada akhirnya, pertanyaan mengenai apa itu filsafat, sejatinya adalah pertanyaan filosofis.
Lantas, apa itu filsafat? Definisi pertama—yang paling kuno, tetapi kita pada suatu waktu pasti pernah mengamininya—adalah melalui penelusuran etimologi atau asal-usul kata. Secara singkat, istilah filsafat berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu “philos” yang berarti cinta atau kecintaan dan “sophia” yang berarti kebijaksanaan atau pengetahuan. Secara harfiah, filsafat dapat diterjemahkan sebagai “kecintaan terhadap kebijaksanaan” atau “kecintaan terhadap pengetahuan” (Bertens, 2018).
Namun, definisi tersebut tidak menjelaskan apa-apa. Etimologi tersebut tidak membuat kita paham, dan justru melahirkan pertanyaan-pertanyaan lebih membingungkan, seperti: Apakah, kemudian, orang bijaksana lantas spontan dianggap berfilsafat? Apakah filsafat itu pasti bijaksana? Apakah filsafat hanya melulu tentang pengetahuan? Apa bedanya filsafat dengan pengetahuan lain seperti matematika, fisika, dan sejarah? Apa yang membuat filsafat, filsafat?
Kelahiran Filsafat
Hadirnya pelbagai pertanyaan adalah ciri paling umum filsafat. Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya salah satunya. Namun, mengapa filsafat selalu dikaitkan dengan pertanyaan? Satu jawaban adalah karena manusia selalu ingin mengerti dunia di sekitarnya (Bertens, 2018). Kita mencoba untuk memahami dunia dengan segala macam cara. Mitos kemudian hadir sebagai jawaban atas pertanyaan manusia tentang dunianya. Mitos adalah pelarian sekaligus obat manusia yang sakit penasaran. Di zaman Yunani Kuno, banyak mitologi yang membahas tentang dewa-dewi sebagai suplemen eksplanasi realitas (Russell, 2021). Zeus sebagai raja para dewa dan dewi; dewa petir; langit; dan hukum serta dikenal pula sebagai pengendali cuaca dan penguasa alam semesta. Athena sebagai dewi kebijaksanaan, perang, dan seni adalah pelindung kota Athena. Poseidon sebagai dewa laut mengendalikan gempa bumi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan air. Masih banyak dewa-dewi lain yang menjelaskan dunia, khususnya alam, tetapi bukan itu poin pentingnya. Gagasan mitologi tersebut memiliki daya penjelasan yang sungguh luar biasa dalam menjawab pertanyaan manusia tentang dunianya.
Filsafat lahir nyatanya bukan hanya dari pertanyaan—melihat lahirnya mitos sebelum filsafat dimulai dengan pertanyaan dan usaha untuk memahami. Filsafat lahir dari suatu pemikiran kritis. Filsafat mengkritik dan merekonstruksi pemahaman manusia melampaui mitos yang ada. Arkhe yang berarti prinsip permulaan atau dasar realitas, menjadi pemantik filsuf-filsuf awal dalam menggeser paradigma mitos ke logos. Thales menganggap arkhe dunia adalah air, sedangkan Anaximenes berpikir semestinya udara. Hal yang perlu diperhatikan—selain menganggap mereka begitu primitif—adalah cara berpikir rasional yang sepenuhnya berbeda dengan cara berpikir yang ada dalam mitos. Hal tersebut adalah palingan spektakuler dalam filsafat.
Ciri dan Cabang Filsafat
Salah satu pendekatan yang dapat diusahakan supaya mengerti dan memahami suatu entitas adalah melalui ciri-ciri yang melekat pada dirinya. Ciri-ciri tikus misalnya, berkaki empat, berbuntut, berkumis, bertubuh kecil, dsb. Walaupun hanya secara general, kita sedikit bisa mengenal apa entitas bernama tikus tersebut. Tikus berada dalam himpunan sesuatu yang berkaki empat, berbuntut, dst. Begitupula dalam ranah pengetahuan terlebih dalam disiplin ilmu. Kita bisa tahu apa itu ilmu kedokteran lewat ciri-cirinya. Disiplin yang fokus pada kesehatan dan penyakit, pendekatan berbasis bukti, dan seterusnya adalah ilmu kedokteran.
Louis O. Kattsoff (2004) membagi ciri-ciri pikiran kefilsafatan menjadi enam garis besar. Pertama, pikiran kefilsafatan adalah suatu bagan konsepsional. Artinya, filsafat merupakan pemikiran tentang sesuatu yang umum. Lalu, sebuah sistem filsafat mestilah koheren. Keruntutan dan kelogisan diperlukan dalam membangun bangunan filsafat yang baik. Hal ini berkaitan dengan aturan penalaran yang rasional. Ketiga, konsep-konsep dalam filsafat mesti bersifat rasional. Keempat, filsafat senantiasa komprehensif. Filsafat berpikir dan menjelaskan dengan menyeluruh, tidak sepotong-sepotong yang acapkali menghasilkan kesimpulan yang keliru. Kelima, filsafat adalah suatu pandangan tentang dunia dan segala hal di dalamnya. Terakhir, filsafat membuat suatu definisi pendahuluan yang menjadi dasar-dasar kepercayaan-kepercayaan kita.
Apa yang kita bicarakan di sini masuk dalam salah satu dari empat rumpun cabang filsafat umum, yakni ontologi. Ontologi membahas tentang adaan, mengada, dan pengada (Ohoitimur, 2018). Ontologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang nyata, bagaimana hal-hal nyata tersebut ada, dan apa yang menjadi dasar atau substansi dari realitas. Dari hal ini kita mulai mendekati dan mengenali, sekurang-kurangnya mengetahui apa itu filsafat.
Namun, apa yang kita maksud ketika kita “tahu” akan sesuatu? Filsafat selalu berkutat dengan pengetahuan. Teori tentang pengetahuan ini lah yang akan disebut sebagai epistemologi. Cabang filsafat umum kedua ini mempelajari sifat, asal-usul, dan batasan pengetahuan. Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan (Kattsoff, 2004).
Anggaplah kita sudah mengetahui fakta (ontologis) dan kita paham tentang pengetahuan kita (epistemologis), lantas apa? Bisakah kemudian kita menyimpulkan apa yang seharusnya secara normatif dari apa yang ada secara objektif? Pertanyaan ini pernah dijawab oleh David Hume dengan radikal. Pernyataan deskriptif tidak dapat berubah menjadi pernyataan normatif (MacIntyre, 1959). Misalnya, fakta bahwa “orang melakukan tindakan X” tidak boleh kemudian langsung semena-mena diambil sebagai kesimpulan bahwa “orang seharusnya melakukan tindakan X” atau “tindakan X adalah hal yang baik atau buruk.” Ia menggambarkan pemisahan ini sebagai “Guillotine Hume” karena memisahkan dengan tegas antara apa yang bisa kita pelajari dari pengamatan empiris dan apa yang seharusnya menjadi dasar etika atau estetika (Black, 1964).
Kemudian, etika atau estetika. Keduanya memiliki satu kesamaan yakni di dalamnya sama-sama bernaung nilai. Problem mengenai nilai berkutat di cabang filsafat umum ketiga yakni aksiologi. Aksiologi mencoba untuk memahami sifat nilai, prinsip-prinsip yang terlibat dalam penilaian, dan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang indah dan tidak indah.
Terlepas dari semua itu, filsafat tidak akan menunjukan kedigdayaannya tanpa dibersamai penalaran yang kuat. Logika menjadi alat dan hal fundamental yang tak terelakkan ketika berfilsafat. Filsafat yang baik adalah filsafat yang dibersamai argumen logis. Logika mempelajari prinsip-prinsip penalaran yang valid dan struktur argumen yang benar. Ia berfokus pada cara berpikir rasional dan penggunaan alat-alat berpikir yang tepat dalam merumuskan dan mengevaluasi argumen. Logika membantu kita dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip yang memastikan kebenaran dan kesahihan dari suatu penalaran. Kecacatan logika—seperti dalam sesat pikir—akan membawa petaka seperti inkonsistensi, trivialitas, dan paradoks.
Kesimpulan
Mempelajari filsafat bukah semata-mata mempelajari sejumlah fakta. Mempelajari filsafat artinya belajar untuk menjadi kritis (Priest, 2006). Matematikawan mengamati dengan teliti pembuktian rekan sejawat dan mengoreksi kesalahan siswanya. Ilmuwan eksperimental mengelaborasi eksperimen sebagai test terhadap teori. Sejarawan menguji laporan rekan sejawatnya menggunakan sumber primer. Perbedaan dan esensi gaya kritis filsafat sejatinya terdapat pada hal berikut. Tak ada satupun yang tak dapat digugat (Priest, 2006).
Agama cinta kebenaran, tetapi tidak cinta ketika kebenarannya dipertanyakan. Seketika keraguan dianggap tabu, seketika itu pula filsafat menghembuskan napas terakhirnya (baca: mati). Dalam ilmu sejarah, kita dilarang mempertanyakan apakah sejarawan lain punya kesadaran atau pikiran. Dalam sains, kritik terhadap suatu teori wajar dan diizinkan, tetapi tidak kepada keseluruhan tubuh dan cara pandang dunia komunitas saintifik (paradigma). Thomas Kuhn dalam karyanya, The Structure of Scientific Revolutions (1962), menganggap adanya paradigma tunggal krusial pada perkembangan ilmu. Namun, ketika ilmuwan menantang dan mengkritisi paradigma karena kehadiran anomali, ketika itu pula ilmuwan menggunakan filsafat. Hal ini terlihat dalam kutipan bukunya (Kuhn, 1962) “It is, I think, particularly in periods of acknowledged crisis that scientists have turned to philosophical analysis as a device for unlocking the riddles of their field.” Pergeseran paradigma adalah hasil dari filsafat. Ilmuwan yang tak mau dan tak butuh filsafat, dalam kenyataannya, mau tidak mau, selalu berpapasan dengan filsafat.
Justru dalam kegilaannya, filsafat mewujudkan keheroikannya. Apakah ada dunia eksternal (independen dari pikiran)? Apakah ada nilai moral? Apakah orang lain punya pikiran yang sama denganku? Apakah ada kehendak bebas? Apakah keadilan itu? Mengapa bahasa memiliki makna sebagaimana adanya? Mengapa kita semua mati? Apa arti dari semua ini? Pertanyaan-pertanyaan filosofis ini butuh dijawab—atau lebih tepatnya kita hanya cukup mencobanya—dan dalam proses dinamikanya kita akan sedikit, dan dengan sedikit adalah segalanya, lebih dekat dengan kebijaksanaan. Oleh karena itu, mari berfilsafat!
Daftar Pustaka
Bertens, K. (2018). Apa itu Filsafat? Dalam K. Bertens, J. Ohoitimur, & M. Dua (Eds.), Pengantar Filsafat (hlm. 29-60). Penerbit Kanisius.
Black, M. (1964). The Gap Between “Is” and “Should.” The Philosophical Review, 73(2), 165–181. https://doi.org/10.2307/2183334
Kattsoff, L. O. (2004). Pengantar Filsafat. Tiara Wacana.
Kuhn, T. S. (2006). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.
MacIntyre, A. C. (1959). Hume on “Is” and “Ought.” The Philosophical Review, 68(4), 451–468. https://doi.org/10.2307/2182491
Ohoitimur, J. (2018). Sistematika Filsafat. Dalam K. Bertens, J. Ohoitimur, & M. Dua, Pengantar Filsafat (hlm. 61-90). Penerbit Kanisius.
Priest, G. (2006). What is Philosophy? Philosophy, 81(316), 189-207. http://www.jstor.org/stable/4127433
Russell, B. (2021). Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar.
/*! elementor – v3.14.0 – 26-06-2023 */
.elementor-widget-image{text-align:center}.elementor-widget-image a{display:inline-block}.elementor-widget-image a img[src$=”.svg”]{width:48px}.elementor-widget-image img{vertical-align:middle;display:inline-block}
PPSMB DIALEKTIKA 2023
Jl. Olahraga, Karang Malang, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281