Melampaui Sekolah: Pendidikan dalam Segala Aspek Kehidupan
Rizqi Vazrin
Pada tanggal 30 Juni 2023 akun @hrdbacot membuat cuitan berisikan mengapa beberapa perusahaan cenderung memilih pelamar yang memperoleh gelar pendidikan dari perguruan tinggi ternama. Alasanya mulai dari proses yang cepat dan muda—hingga perusahaan tidak perlu melakukan training yang lebih lama bagi pelamar—yang pada intinya adalah untuk menghemat cost dan meningkatkan keuntungan perusahaan. Akun tersebut juga memberi disclaimer bukan berarti orang-orang yang tidak bersekolah atau tidak lulus dari perguruan tinggi ternama tidak dapat bersaing dalam dunia industri.
Banyak orang yang percaya pada pandangan tradisional, bahwa sekolah (universitas atau institusi pendidikan lainnya) merupakan bagian penting dalam meraih kesuksesan sekaligus tempat mengasah keterampilan dasar agar dapat meraih masa depan sukses. Apakah pandangan tersebut sepenuhnya salah? Tentu saja tidak, sekolah memang membantu individu untuk sintas. Sekolah membantu memberikan informasi dan dukungan dalam mempersiapkan karir dan pendidikan lanjutan. Sekolah dapat membantu individu mengeksplorasi minat dan bakat siswanya, mengidentifikasi peluang karier, dan memberikan bimbingan dalam pemilihan program pendidikan atau pelatihan. Namun, apakah hal tersebut masih relevan pada realitas saat ini, di saat akses informasi dapat diperoleh dengan murah dan cepat? Apakah orang-orang yang tidak bersekolah dan tidak dapat mengakses sekolah adalah orang terbelakang yang hanya menjadi sampah masyarakat? Apakah orang-orang yang bersekolah artinya orang yang berpendidikan?
Pendidikan adalah proses pembelajaran atau proses pengajaran. Belajar adalah proses perolehan informasi baru, perilaku, pengetahuan, atau kemampuan yang didapatkan setelah latihan, observasi, atau pengalaman lain, yang dibuktikan dengan perubahan perilaku, pengetahuan, atau fungsi otak. Sementara itu, pembelajaran adalah proses yang sudah dimodifikasi dengan instruksi tertentu (sistem) yang membantu siswa belajar dan berinteraksi dengan sumber pengetahuan yang diajarkan (Hardini dan Puspitasari, 2012).
Meskipun kita cenderung menyebut pendidikan yang merujuk pada proses pembelajaran dan pengajaran yang individu jalani di sebuah institusi, pendidikan juga dapat berarti pembelajaran apa pun dalam kehidupan. Sebagai contoh, belajar bersepeda juga merupakan bentuk pendidikan. Kita tidak memperolehnya di sebuah institusi. Kita belajar kemampuan tersebut dari orang tua atau teman-teman kita. Kebanyakan orang memperoleh sebagian besar pengetahuan mereka di luar sekolah. Sebagian besar pembelajaran terjadi secara otodidak bahkan pembelajaran yang paling disengaja pun bukanlah hasil dari instruksi yang diprogramkan seperti di sekolah. Anak-anak normal pada umumnya belajar mendengar dan berbicara dengan bahasa pertama mereka secara otodidak—meskipun akan lebih cepat jika dibantu oleh orang tuanya.
Oleh karenanya, mendapatkan pendidikan tidak selalu sama dengan bersekolah. Seseorang yang melewati seluruh hidupnya berhasil lulus ujian secara konsisten mulai dari jenjang paud hingga perguruan tinggi tidak selalu menentukan jenis kesuksesan yang dilihat oleh siswa setelah mereka menyelesaikan perguruan tinggi. Pendidikan lebih dari itu, pendidikan adalah perolehan pengetahuan secara umum untuk kedewasaan, pertumbuhan, dan pemahaman. Pendidikan memungkinkan kita mengumpulkan seperangkat keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk diterapkan dalam kehidupan individu. Sementara, sekolah menuntut siswanya melakukan serangkaian prosedur dan “ritual” untuk tujuan yang tampaknya nyata, tetapi dangkal, yaitu mengembangkan orang-orang yang cocok dengan kebutuhan komoditas. Sekolah yang seharusnya membebaskan individu malah menciptakan ketergantungan dan pengendalian (Illich, 2002).
Illich (2002) berpendapat bahwa sekolah tidak hanya gagal memberikan pendidikan yang berkualitas, tetapi juga menciptakan hierarki sosial, membatasi kreativitas dan otonomi individu, serta menghasilkan pemahaman yang dangkal. Pendidikan bukan hanya terbatas pada lingkungan sekolah, tetapi juga merupakan tanggung jawab setiap individu dan komunitas. Sayangnya, “kehidupan yang baik”, yang diidentifikasi dan dijaga oleh komunitas, telah menempatkan kebutuhan dan harapan palsu yang ditentukan dan dikendalikan oleh pihak luar, yaitu institusi (sekolah). Dengan institusi, banyak aspek kehidupan kita telah dikuasai oleh para profesional dan pengendalian diberlakukan serta diperluas (Illich, 2002). Kemampuan kita untuk menghadapi banyak aspek kehidupan sendiri menjadi berkurang. Kita telah menginstitusikan kehidupan kita dan hal ini telah menjadi norma.
Kita tidak dapat menyebut manusia perak di tengah–tengah lampu merah adalah orang yang tak berpendidikan, begitu pula menyebut seorang yang bersekolah dan bergelar berarti sudah cukup berpendidikan. Pemaknaan pendidikan tidak dapat hanya diartikan sebatas ruang kelas, kurikulum, ujian akhir semester atau atribusi lainnya yang disematkan pada sekolah. Pendidikan juga bukan hanya alat transaksi untuk memenuhi kebutuhan komoditas. Pendidikan adalah upaya agar individu dapat berpikir kritis, reflektif, berwawasan luas, mampu membuat penilaian moral yang seimbang, serta bertindak dengan memperhatikan tanggung jawab sosial (Wattimena, 2018).
Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya usaha untuk memperoleh pengetahuan tetapi untuk menumbuhkan kesadaran kritis bagi masyarakat. Meskipun pengetahuan itu tidaklah netral dan memuat kepentingan tertentu (Giroux, 2011). Namun, Pendidikan hendaklah berlandaskan pada keluwesan—desentralisasi, terbuka, dan terjadi dalam berbagai konteks kehidupan sehari–hari. Pendidikan hendaklah diarahkan pada otonomi kita yang bukan malah menjadikannya terbatas, tetapi lebih bebas. Termasuk pula kita dapat mulai mengupayakan pendekatan yang lebih holistik ketika menilai kemampuan pelamar kerja, bukan hanya melihat apakah pelamar dari perguruan tinggi terkenal atau minimal lulus pada jenjang pendidikan tertentu.
Daftar Pustaka
Giroux, H. (2011). On Critical Pedagogy. The Continuum International Publishing Group.
Hardini, I., & Puspitasari, D. (2012). Strategi Pembelajaran Terpadu (Teori, Konsep, & Implementasi). Familia.
Illich, I. (2002). Deschooling Society. Marion Boyars.
Wattimena, R. A. A. (2015). Pedagogi Kritis: Pemikiran Henry Giroux tentang Pendidikan dan Relevansinya untuk Indonesia. Jurnal Filsafat, 28(2), 180-199. https://doi.org/10.22146/jf.34714
/*! elementor – v3.14.0 – 26-06-2023 */
.elementor-widget-image{text-align:center}.elementor-widget-image a{display:inline-block}.elementor-widget-image a img[src$=”.svg”]{width:48px}.elementor-widget-image img{vertical-align:middle;display:inline-block}
PPSMB DIALEKTIKA 2023
Jl. Olahraga, Karang Malang, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281