Gelimang dan Gelimpang Harta dalam Pendidikan
Fransicus Xaferius Christnaldi Ramadani
Midjourney
“Lebarnya kesenjangan dalam pendidikan anak berhubungan dengan latar belakang keluarga mereka. Ketidaksetaraan ini sudah ada sejak anak-anak masuk prasekolah (TK). Di 16 dari 29 negara Eropa yang datanya tersedia, anak-anak dari seperlima keluarga termiskin memiliki tingkat kehadiran prasekolah yang lebih rendah daripada anak-anak dari seperlima keluarga terkaya “
-The New York Times, 2012
Pendidikan dan mahalnya biaya yang diperlukan untuk mengaksesnya ternyata benar-benar memakan korban. Kasus ini bahkan terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Balairungpress melaporkan bahwa kasus tersebut menimpa salah dua calon mahasiswa baru (camaba) UGM tahun ajaran 2023/2024. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa terdapat ketidakadilan dalam penentuan besar jumlah Uang Kuliah Tunggal (UKT). Mahasiswa yang kurang mampu sangat mungkin mendapatkan UKT yang lebih besar dari jumlah pendapatan orang tua. Salah satu keluarga korban bahkan harus menggadaikan barang-barang dan menguras tabungan mereka (Gabriella & Joshua, 2023). Kejadian ini menimbulkan pertanyaan, “Apakah pendidikan, pada akhirnya, hanya dapat diakses dan dinikmati oleh orang kaya?”
Pertanyaan tersebut—secara tidak langsung—pernah dijawab oleh Pierre Bourdieu dalam bukunya, Reproduction in Education, Society and Culture (1990). Bagi Bourdieu, pendidikan merupakan suatu tempat untuk mereproduksi budaya kelas dominan. Artinya, ada upaya untuk melanggengkan suatu budaya dominan dari generasi ke generasi demi terus melakukan praktik dominasi (Jenks, 1993). Praktik dominasi dilakukan dengan menunjukkan adanya kekuasaan atas suatu modal kepada orang lain. Sederhananya, lebih besar modal, lebih besar pula kemungkinan untuk mendominasi. Dari sini, dapat dilihat bahwa praktik dominasi memerlukan adanya ketimpangan modal.
Langgengnya Kesenjangan
Bourdieu tidak menjelaskan kelas dominan, sesederhana, sebagai kelas yang memiliki akumulasi kapital ekonomi terbesar. Menurut Bourdieu, ada empat kapital yang dapat dimiliki, termasuk kapital ekonomi. Kapital-kapital tersebut, antara lain (1) kapital ekonomi yang berhubungan dengan kepemilikan harta, seperti uang, saham, sertifikat tanah, dll; (2) kapital budaya yang dapat dipahami sebagai kapital informasi, meliputi pendidikan, skill ‘keuletan’, retorika, dll; (3) kapital sosial yang bisa dimaknai sebagai akumulasi relasi dengan orang lain; serta (4) kapital simbolik atau modal representasi simbolik, seperti gelar, pengakuan, dll (Smith, 2020; Prayogo, 2017). Keempat kapital ini bersifat cair: dapat dikonversi ke bentuk kapital lain atau ke hal lain.
Dalam pendidikan, kesenjangan yang paling terlihat adalah kesenjangan kapital budaya. Kapital budaya, seperti dijelaskan sebelumnya, berkaitan dengan kapital informasi yang dapat terlihat dalam keakraban dengan institusi dan kepemilikan kompetensi. Seseorang dengan kapital budaya telah dipersiapkan oleh orang tuanya dengan berbagai bekal untuk dapat beradaptasi dengan mudah di suatu institusi, khususnya pendidikan (Edgerton & Roberts, 2014). Hal ini akan tampak di dalam kelas ketika para pelajar—secara tidak langsung—diminta menunjukkan kemampuannya, seperti kemampuan dalam berbagai mata pelajaran. Mereka diminta untuk mencapai nilai yang sama. Padahal akses untuk mencapainya tidak selalu sama. Salah dua contoh akses tersebut adalah buku dan sumber lain yang berkualitas serta bimbel. Lantas, bagaimana seseorang mendapatkan kapital budaya? Bourdieu pun menyoroti pentingnya salah satu kapital, yaitu kapital ekonomi.
Bourideu melihat bahwa kapital dapat saling memengaruhi. Dalam konteks ini, kapital ekonomi memengaruhi kapital budaya. Untuk “membeli” akses terhadap buku, internet, serta bimbel, seseorang memerlukan kapital ekonomi (Edgerton & Roberts, 2014). Jadi, dapat dilihat bahwa kemampuan ekonomi sangat mendukung kapital budaya seseorang: mendukung seseorang untuk mengakumulasi informasi.
Hal ini diperparah dengan anggapan-anggapan yang melanggengkan ketimpangan. Salah satu anggapan umum adalah bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam—mengakses dan mempraktikkan—pendidikan. Bakat dan ketekunan dianggap sebagai faktor pendorong utama keberhasilan di kelas. Anggapan ini menyembunyikan adanya kesenjangan kapital (Haryatmoko, 2023). Implikasinya, kesenjangan—secara tidak sadar—dinormalisasi dan diterima begitu saja oleh setiap orang.
Kekerasan yang Subtil itu Bernama Kekerasan Simbolik
“Every power to exert symbolic violence, i.e. every power which manages to impose meanings and to impose them as legitimate by concealing the power relations which are the basis of its force, adds its own specifically symbolic force to those power relations.” Bourdieu (dalam Bourdieu dan Passeron, 1990)
Tindakan normalisasi dan penerimaan yang begitu saja mengindikasikan adanya suatu bentuk kekerasan. Kekerasan yang berupa penanaman nilai, pemahaman, bahkan budaya secara memaksa dan tidak terbantahkan. Namun, kekerasan ini tidak kasat mata dan bahkan diwajarkan oleh korbannya karena tidak merasa tindakan tersebut sebagai suatu bentuk kekerasan. Bourdieu menyebutnya sebagai kekerasan simbolik (Haryatmoko, 2016).
Bourdieu menganggap bahwa setiap praktik pendidikan mengandung kekerasan simbolik sejauh terdapat adanya penanaman budaya yang memaksa (Bourdieu & Passeron, 1990). Budaya yang ditanamkan—seperti yang dijelaskan sebelumnya—tentu merupakan budaya kelas dominan. Pendidikan yang dijadikan sebagai tempat untuk mereproduksi budaya ini berbuntut kepada tersituasikannya sosial sesuai keinginan mereka. Dampak konkretnya adalah kesenjangan yang tampak dari tereksklusinya kelas lain.
Kita mungkin pernah merasakan ini. Sebagai gambaran skenario, kita bisa bertolak dari sistem pendidikan yang hanya mengejar nilai. Dalam situasi seperti ini, kita mungkin tidak pernah atau tidak sempat mengambil jarak. Sebuah situasi dengan sistem yang kita terima begitu saja dari awal. Pun apabila kita sadar dan mengkritisi situasi ini, kita tidak akan dapat mengubahnya dengan mudah. Situasi ini telah ternormalisasi oleh sebagian besar orang. Hal ini disebabkan oleh adanya reproduksi budaya yang terjalin secara turun-temurun. Padahal kita dapat menemukan beberapa kejanggalan yang—baik disadari maupun tidak—muncul sebagai akibat dari situasi tersebut. Misalnya, kesenjangan yang semakin besar karena pelajar-pelajar yang berkapital (baca: kaya) memiliki kesempatan yang lebih besar dalam meraih nilai yang tinggi—melalui internet, buku, dan bimbel.
Tolakan untuk Refleksi Kritis
Anggapan bahwa pendidikan hanya untuk orang kaya, nyatanya, bukan mitos belaka. Pendidikan, dengan segala bangunan sistemnya, benar-benar menelan korban. Praktik-praktik dalam dunia pendidikan juga terkonstruksi secara rapi untuk melanggengkan dominasi suatu kelas terhadap kelas lain. Bersama dengan kekerasan yang tak kasat mata, kelas dominan mampu membuat segala hal terlihat wajar. Kesenjangan antarkelas dan ketidaksamaan kesempatan dalam pendidikan menjadi buntut panjang perkara ini.
Sebagai penutup, perlu disampaikan bahwa tulisan ini bukanlah suatu tulisan yang mengajak pembaca untuk memiliki keberpihakan tertentu. Alasannya adalah, jika tulisan ini bertindak demikian, artinya, tulisan ini mengindikasikan adanya kekerasan simbolik. Tulisan ini dimaksudkan sebagai bahan refleksi kritis terhadap problem-problem praktis di sekitar dan mempertanyakannya secara filosofis.
Daftar Pustaka
Bourdieu, P., & Passeron, J.-C. (1990). Reproduction in Education, Society and Culture (R. Nice, Trans.). Sage Publications.
Edgerton, J. D., & Roberts, L. W. (2014). Cultural Capital or Habitus? Bourdieu and Beyond in the Explanation of Enduring Educational Inequality. Theory and Research in Education, 12(2), 193-220. DOI: 10.1177/1477878514530231
Gabriella, M., & Joshua, V. (2023). “Orang Tuaku Tidak Sanggup Bayar”. Balairungpress. https://www.balairungpress.com/2023/06/orang-tuaku-tidak-sanggup-bayar/
Haryatmoko, J. (2016). Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis. PT Kanisius.
Haryatmoko, J. (2023). Pierre Bourdieu: Habitus, Kapital Budaya, dan Pendidikan | Sekolah Basis 2023 Hari #1 [Youtube]. Penerbit KPG. https://www.youtube.com/watch?v=VotQFmlGtmM&t=2469s
Jenks, C. (1993). Introductiom: The Analytic Bases of Cultural Reproduction Theory. In C. Jenks (Ed.), Cultural Reproduction (hlm. 1-16). Routledge.
Prayogo, D. (2017). Bourdieu dan Kuasa Simbolik Pendidikan Metode -. LSF Cogito. https://lsfcogito.org/bourdieu-dan-kuasa-simbolik-pendidikan/#_ftnref12
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2021 tentang integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah https://infed.org/mobi/pierre-bourdieu-habitus-capital-and-field-exploring-reproduction-in-the-practice-of-education/
/*! elementor – v3.14.0 – 26-06-2023 */
.elementor-widget-image{text-align:center}.elementor-widget-image a{display:inline-block}.elementor-widget-image a img[src$=”.svg”]{width:48px}.elementor-widget-image img{vertical-align:middle;display:inline-block}
PPSMB DIALEKTIKA 2023
Jl. Olahraga, Karang Malang, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281