Pendidikan, Gender, dan Kesetaraan
Vigo Joshua
Dall-E
Bagaimana cara membahasakan gender dalam filsafat pendidikan? Atau, bila dibalik, bagaimana cara filsafat pendidikan berbicara tentang gender?
Perempuan Dikondisikan Jadi “Liyan” dalam Pendidikan
Konsep tentang gender merupakan diskursus baru dalam bidang pendidikan. Walaupun masalah tentang gender telah berkutat lama, mungkin sejak adanya peradaban manusia, keadilan belumlah muncul antara laki-laki dan perempuan hingga hari ini. Oleh karena itu, untuk sepenuhnya membahas masalah pendidikan di bidang ini, kita harus mulai dengan masalah yang muncul dari perbedaan yang dipersepsikan di antara kedua jenis kelamin.
Hal ini mencakup perdebatan panjang tentang peran dan tujuan pendidikan anak perempuan, yang didasarkan pada pemahaman bahwa anak perempuan dan perempuan muda tidak mampu berpikir secara rasional dan, bahkan, berpotensi untuk mengalami kerusakan (“fisik”) akibat belajar yang berat (Paechter, 2018).
Hingga akhir abad ke-20, laki-laki dan perempuan dianggap, setidaknya di negara-negara Utara (global north), berbeda secara signifikan dalam banyak hal, termasuk kapasitas mereka untuk menempuh pendidikan. Gatens (1991), misalnya, berpendapat bahwa, sejak abad ke-17 dan seterusnya, konsepsi-konsepsi tentang sifat manusia mengasumsikan bahwa “subjek laki-laki” itu rasional dan mampu mengubah banyak hal penting di dunia ini. Di sisi lain, “subjek perempuan” hanya menjadi “bayangan bagi laki-laki” yang dibatasi oleh tempat, waktu, tubuh, dan hasrat (Foucault 1978). Dan karena itu, diposisikan di luar masyarakat (Hekman 1990).
Perempuan dianggap hanya berguna untuk memungkinkan pasangan laki-lakinya untuk mempertahankan ikatan dengan alam (Rousseau 1762, 1979), ia tidak dianggap dapat dididik sepenuhnya. Pada akhirnya, pendidikan terhadap perempuan hanya ditekankan ihwal peran mereka di masa depan sebagai istri dan ibu. Hal ini tidak hanya mengabaikan potensi intelektual mereka, tetapi juga partisipasinya sebagai manusia.
Hal yang lebih nahas, para intelektual perintis gerakan kesetaraan pendidikan bagi perempuan kelas menengah pada abad ke-19 meyakini bahwa, pada akhirnya, perempuan harus memisahkan pernikahan dan pekerjaan (Summerfield, 1987). Kian mustahil nampaknya perempuan menjadi manusia. Adapula kelas pekerja pada periode yang sama malah mendirikan sekolah untuk anak perempuan kelas pekerja agar bisa membekali dirinya sebagai ibu rumah tangga yang kompeten.
Secara khusus, ada perdebatan panjang pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20 tentang apakah perlu ada kurikulum khusus untuk perempuan. Inti dari perdebatan tersebut adalah pertanyaan tentang pentingnya sains matematika, bagi anak perempuan. Kemudian, munculnya urgensi untuk membangun bentuk sains perempuan, “sains rumah tangga”, untuk menggantikan fisika dan kimia di sekolah-sekolah anak perempuan (Paechter, 2018).
Gender dan Keperempuanan
Konsep gender diperkenalkan oleh John Money pada tahun 1955 untuk mendukung pembenarannya terhadap operasi pada bayi interseks. Gagasan utamanya adalah bahwa identitas gender dan ekspresinya dipelajari secara budaya (culturally), bukan bawaan lahir (innate), dan berpotensi untuk dipisahkan dari morfologi tubuh. Gagasan bahwa identitas dan peran sosial seseorang dapat berbeda dari susunan genetik atau morfologi tubuh memungkinkan Money dan rekan-rekannya untuk berargumen bahwa identitas dapat dimanipulasi jika tubuh dianggap bermasalah, dan khususnya, tidak sesuai (Paechter, 2018).
Gender kemudian digunakan oleh Robert Stoller sebagai konsep untuk membingkai karyanya dengan apa yang kemudian disebut sebagai transeksual (Stoller 1968). Hal ini memungkinkan argumen bahwa tubuh lahir tertentu tidak selalu terkait dengan identitas tertentu. Dari Stoller, istilah ini diambil oleh para feminis, yang menganggapnya sebagai alat penting dalam argumen bahwa biologi bukanlah takdir, dan para peneliti pendidikan feminis telah menggunakannya sejak pertengahan tahun 1970-an. Mulai dari sinilah, pergeseran wacana tentang perbedaan jenis kelamin ‘alamiah’ menjadi wacana gender yang ‘terstruktur secara sosial’ secara luas bertepatan dengan gelombang legislasi kesetaraan di seluruh negara makmur di dunia. Hal inilah yang membuat mulai ada kebebasan dalam sistem pendidikan; laki-laki dan perempuan mulai bisa mengambil kurikulum yang sama.
Walaupun kurikulumnya sudah diperbarukan, sikap merendahkan dan me-liyankan masih sangat dominan dalam kultur pendidikan. Judith Butler (2004) menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh karena pertimbangan realitas senyatanya belum dibahas secara total. Misalnya gagasan kemasyarakatan dan orientasi kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu bagi Butler, pembahasan tentang gender harus melampaui diskursus yang didominasi perasaan superior dan hegemoni patriarki. Butler bertujuan pada hal yang sifatnya pokok dan politis, yakni kehidupan yang layak bagi semua orang.
What is most important is to cease legislating for all lives what is livable only for some, and similarly, to refrain from proscribing for all lives what is unlivable for some. (Butler, 2004: 8)
Selain itu, Butler mulai menantang cara-cara yang selama ini digunakan untuk menampilkan maskulinitas dan feminitas; yang biasanya juga dianggap sebagai cara yang benar untuk “melakukan” gender. Butler menggunakan konsep “norma” gender untuk menggambarkan kebingungan tentang apa yang “ada” dengan apa yang “seharusnya”, kebingungan yang menghalangi kita untuk melihat kemungkinan cara hidup yang lain sebagai sesuatu yang sah atau bahkan membayangkan adanya kemungkinan seperti itu.
Sebaliknya, Butler mengusung konsep bahwa gender tidak bersifat biologis, tetapi performatif. Istilah performativitas tidak hanya berarti kinerja. Kita dapat memahaminya jika menggunakan istilah ahli bahasa konsep, J.L. Austin, tentang ujaran performatif yang mengacu pada pernyataan yang menghasilkan apa yang dinyatakannya. Contohnya adalah pernyataan “Saya sekarang menyatakan kamu sebagai suami dan istri”. Jika diucapkan oleh seseorang yang secara sosial punya wewenang untuk mengucapkannya, pernyataan itu bisa menciptakan pasangan suami istri.
Butler berpendapat bahwa gender bekerja dengan cara ini: ketika kita menamai seorang anak sebagai “perempuan” atau “laki-laki”, kita, secara tidak langsung, berkontribusi dalam menciptakan mereka sebagai sesuatu yang seperti itu. Dengan menyebut orang lain (atau diri kita sendiri) sebagai laki-laki atau perempuan, kita sedang dalam proses menciptakan dan mendefinisikan kategori-kategori tersebut.
Beberapa teori gender membedakan antara jenis kelamin biologis dan gender sosial, tetapi Butler menganggap hal ini kontraproduktif. Bagi Butler, membicarakan jenis kelamin biologis yang ada di luar makna sosialnya adalah hal yang tidak masuk akal. Jika memang ada, kita tidak dapat menemukannya, karena kita terlahir ke dalam dunia yang sudah memiliki pemahaman tertentu mengenai gender, dan dunia tersebut kemudian secara retrospektif memberi tahu kita makna anatomi kita. Kita tidak dapat mengenal diri kita sendiri di luar makna sosial tersebut. Faktanya, sebagian besar karya Butler memang mengingatkan kita semua bahwa kita tidak dapat sepenuhnya mengenal diri kita sendiri.
Pelampauan atas Keterbatasan
Jika meminjam pernyataan Butler bahwa kesetaraan gender bertujuan untuk mencapai kehidupan yang layak bagi semua orang. Seharusnya, membawa kita pada pemahaman yang melampaui determinisme biologis. Anggapan bahwa semua laki-laki diuntungkan dengan adanya peng-liyanan perempuan hanya berguna untuk mengadu domba antara perempuan dengan laki-laki tanpa pernah menjawab persoalan, mengapa perempuan dijadikan subjek yang liyan? Atau, siapa yang diuntungkan dengan pengondisian perempuan sebagai subjek yang liyan?
Laki-laki, kelas pekerja, tentu tidak diuntungkan dengan adanya peng-liyanan perempuan. Sebab, dengan peng-liyanan perempuan, laki-laki (kelas pekerja) hanya akan menanggung beban ekonomi yang lebih berat (Smith, 2005). Dan, perempuan lebih-lebih tidak diuntungkan dengan peng-liyanan mereka. Lantas, siapa yang diuntungkan dengan kondisi seperti ini?
Pertanyaan semacam inilah yang akan membawa kita pada kenyataan bahwa kesetaraan gender bukan bagian yang terpisahkan dari struktur sosial dan ekonomi masyarakat (Wilson, 2010). Di bawah struktur sosial dan ekonomi yang patriarkis, semua dari kita, baik perempuan dan laki-laki, telah dirugikan. Oleh karenanya, alih-alih membuat perpecahan antara laki-laki dan perempuan, seharusnya kita merefleksikan bagaimana struktur sosial yang setara itu dimungkinkan.
Tentu, struktur tersebut tidak mampu dicapai hanya dengan memberi “hak” kepada perempuan untuk mengakses berbagai sektor, baik itu pendidikan, pekerjaan, maupun politik. Tanpa pernah menghapuskan batasan-batasan yang ada. Bagaimana mana mungkin perempuan dapat mengakses pendidikan jika mereka hanya disuruh segera menikah dan mengurus anak? Bagaimana mungkin perempuan dapat mengakses pekerja yang layak jika ketika bekerja mereka harus menanggung beban ganda pekerjaan domestik? Bagaimana mungkin perempuan dapat terlibat dalam dunia politik jika mereka hanya sebatas angka?
Kesetaraan gender tidak cukup dicapai hanya dengan memberi lebih banyak “panggung” kepada perempuan. Itu penting, tetapi tidak cukup hanya di situ. Kesetaraan gender, khususnya dalam dunia pendidikan, harus dibangun dengan kesadaran kolektif bahwa tiap-tiap kita dirugikan dengan adanya sistem yang patriarkis. Dan, tiap-tiap kita bertanggung jawab untuk meruntuhkan sistem tersebut guna membangun sistem yang lebih baik – yang memberi kebebasan bagi setiap umat manusia.
Daftar Pustaka
Butler, J. (2004). Undoing gender. New York: Routledge.
Foucault, M. (1978). The history of sexuality volume one (R. Hurley, Trans.). London: Penguin.
Gatens, M. (1991). Feminism and philosophy: Perspectives on difference and equality. Cambridge: Polity Press.
Hekman, S. J. (1990). Gender and knowledge: Elements of a postmodern feminism. Cambridge:Polity Press.
Paechter, C. (2018). Gender and the Philosophy of Education. International handbook of philosophy of education, 981-994.
Rousseau, J.-J. (1762, 1979). Emile (A. Bloom, Trans.). London: Penguin.
Smith, S. (2005). Women and socialism: Essays on women’s liberation. Chicago, IL: Haymarket Books.
Summerfield, P. (1987). Cultural reproduction in the education of girls: A study of Girls’ secondary schooling in two Lancashire towns 1900–50. In F. Hunt (Ed.), Lessons for life (pp. 149–170). Oxford: Basil Blackwell.
Wilson, F. A. (2010). Marxism and Education Beyond Identity. Palgrave Macmillan.
/*! elementor – v3.14.0 – 26-06-2023 */
.elementor-widget-image{text-align:center}.elementor-widget-image a{display:inline-block}.elementor-widget-image a img[src$=”.svg”]{width:48px}.elementor-widget-image img{vertical-align:middle;display:inline-block}
PPSMB DIALEKTIKA 2023
Jl. Olahraga, Karang Malang, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281