Terdidik agar Lebih Baik (?)
Vigo Joshua
Dall-E
Bermuara pada Tujuan, Harapan, dan Kesuksesan
Filsafat pendidikan adalah cabang filsafat terapan yang berkaitan dengan sifat dan tujuan pendidikan serta masalah-masalah filosofis yang muncul dari teori dan praktik pendidikan. Pendidikan ada di mana-mana. Praktik pendidikan terdapat di dalam berbagai unsur kelembagaan manusia (dari struktur terkecil sampai paling besar). Hingga kini, pendidikan telah menjadi instrumen ataupun tujuan esensial sebagai manifestasi dari laku sosial kehidupan. Untuk memahami lebih jauh isu penting di dalam pendidikan dan bagaimana filsafat pendidikan dapat terbentuk sedemikian rupa, kembali kepada sejarah adalah langkah awal (Curren, 2023).
Filsafat Barat, misalnya, telah lama memiliki tradisi filsafat pendidikan. Misalnya, wujud filsafat pendidikan ala Sokrates. Pengenalan oleh Sokrates tentang “metode Sokrates” untuk terus mempertanyakan segala sesuatu memulai sebuah tradisi dalam pendidikan. Subjek dituntut untuk melakukan penalaran dan pencarian alasan yang dapat membenarkan keyakinan, penilaian, dan tindakan fundamental (Siegel, 2012).
Metode Sokrates ini, pada gilirannya, memunculkan pandangan bahwa pendidikan harus mendorong semua siswa dan orang, sejauh mungkin, mengejar kehidupan akal. Penempatan akal sebagai sesuatu yang esensial dalam pendidikan telah dimiliki oleh sebagian besar tokoh utama dalam sejarah filsafat pendidikan, meskipun terdapat perbedaan yang cukup substansial dalam pandangan filosofis mereka yang lain. Demikian pula dengan Plato, ia mendukung pandangan tersebut dan berpendapat bahwa tugas mendasar dari pendidikan adalah membantu siswa untuk menghargai akal dan menjadi masuk akal (Siegel, 2012).
Bagi Plato, pendidikan seperti itu berguna agar subjek dapat menerima kebijaksanaan dan melampaui kesenangan, kehormatan, dan pengejaran lain yang kurang berharga. Plato menetapkan suatu visi pendidikan, yakni kelompok siswa yang berbeda akan menerima jenis pendidikan yang berbeda, tergantung minat, kemampuan, dan status sosial mereka. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai pemilahan pendidikan (Siegel, 2012).
Tak berhenti di Plato saja, Aristoteles juga menganggap tujuan utama dari pendidikan adalah pengembangan nilai-nilai kebijaksanaan. Aristoteles menganggap bahwa nilai yang dihasilkan oleh pendidikan harus berbasis dengan praktik kemasyarakatan sehingga nilai hak dan kepentingan suatu individu tidak lebih penting dari masyarakat.
Beriringan dengan perkembangan era kefilsafatan dan pendidikan, muncullah pendidikan formal (pendidikan institusional). Pendidikan menjadi wajib secara institusional. Banyak kritik muncul dengan kemunculan model pendidikan seperti ini. Jean-Jacques Rousseau (1712-78), misalnya, menganggap bahwa pendidikan formal, seperti halnya masyarakat itu sendiri, pasti akan merusak. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus memungkinkan perkembangan anak-anak secara “alami” dan “bebas”, sebuah pandangan yang pada akhirnya mengarah pada gerakan modern yang dikenal sebagai “pendidikan terbuka” (Siegel, 2012).
Gagasan-gagasan ini dalam beberapa hal tercermin dalam “progresivisme” abad ke-20, sebuah gerakan yang kerap dikaitkan dengan filosofi pendidikan ala John Dewey (1859–1952). Dewey menekankan sentralitas pendidikan dari pengalaman dan berpendapat bahwa pengalaman benar-benar bersifat mendidik hanya jika pengalaman tersebut mengarah pada “pertumbuhan”. Dewey menekankan pentingnya minat siswa sendiri dalam menentukan kegiatan pendidikan yang sesuai dan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; dalam hal ini dia biasanya dipandang sebagai pendukung pendidikan “berpusat pada anak”, meskipun dia juga menekankan pentingnya pemahaman siswa tentang materi pelajaran tradisional (Curren, 2023).
Namun, gagasan bahwa tujuan pendidikan adalah pertumbuhan telah terbukti menjadi masalah dan kontroversial, bahkan makna dari slogan tersebut tidak jelas. Nyatanya, pendidikan yang berorientasi kepada pertumbuhan itu bermuara pada ekspansi politik besar-besaran demi dominasi dunia; atau biasa disebut hegemoni. Saat ini, permasalahan di tiap tempat berbeda. Urgensi dari pendidikan pun berbeda-beda. Pendidikan secara global kian terpusat untuk menyelesaikan problem di negara dunia utara (global north country). Khususnya hari ini, pendidikan diarahkan untuk menyelesaikan problem strategis yang disusun oleh global south country, di antaranya:
- Ketimpangan ekonomi yang besar dan semakin meningkat, di antara bangsa-bangsa dan di dalam bangsa-bangsa.
- Perasaan bahwa yang penting dalam hidup adalah mengumpulkan harta benda, baik untuk nilai intrinsiknya sendiri atau untuk menikmati kekuasaan untuk memamerkan kekayaan.
- Menurunnya kepedulian terhadap barang-barang publik, terutama yang bermanfaat bagi orang miskin.
- Meningkatnya ketidakpuasan di antara berbagai segmen masyarakat, karena mereka merasa telah kehilangan kesempatan yang tersedia bagi generasi sebelumnya, sebagai “tertinggal”.
- Layu dan runtuhnya berbagai bentuk komunitas, dan hancurnya solidaritas sosial.
(Randal Curren, Handbook of Philosophy of Education, 2023)
Sudah seharusnya kita mempertanyakan tentang problem tersebut. Apakah itu penting? Apakah itu relevan bagi negara kita? Harusnya bagaimana pendidikan kita? Permasalahan apa yang perlu diselesaikan lebih dahulu? Entah, sejauh ini belum ada filsuf yang mampu menjelaskan pendidikan paripurna itu seperti apa.
Pendidikan yang Mungkin
Kian mustahil nampaknya untuk bisa hidup di dunia yang lepas dari serapan sana-sini, khususnya untuk kegiatan mendidik. Pendidikan musik, misalnya, tak lepas dari kurikulum pengantar; musik klasik Barat. Kemudian, pendidikan karakter yang kerap menyerap konsep pendidikan psikologis ala Barat pula. Bahkan, tujuan pendidikan keberlanjutan suatu pendidikan tinggi dikondisikan agenda internasional, seperti Indonesia 2045 atau Sustainable Development Goals. Pendidikan yang tersisa bagi masyarakat asli mungkin hanya berhenti pada edukasi tentang agama dan moral yang berbasis kearifan lokal. Namun, itu pun masih sering terkooptasi suatu mazhab dominan di belahan lain.
Dunia pendidikan saat ini merupakan gabungan dari berbagai ide dan praktik pedagogis yang beragam. Ia diciptakan dan dipinjam dari berbagai belahan dunia. Padahal, peminjaman metode pendidikan secara kultural tidak selalu mencapai hasil yang bermanfaat. Jika tidak ada pemahaman yang tepat mengenai dasar-dasar filosofis yang mendasari dan pedagogi rakyat yang mengikutinya, pencomotan pendidikan akan sia-sia. Sebagai contoh, apa yang dianggap sebagai pembelajaran “informal” sering kali hanya berpusat pada guru, siswa hanya disuapi dengan serangkaian kegiatan tanpa memberitahu dasar mengapa pendidikan itu perlu sama sekali (Adamson dkk., 2000).
Pertanyaannya, kapan kita bisa memulai pendidikan kita sendiri? Apakah pendidikan harus mengikuti ajaran Sokrates, Dewey, dan filsuf Barat lainnya. Ataukah pendidikan harus lebih sering mengikuti tokoh pendidikan nasional, seperti Ki Hajar Dewantara dan para pejuang pendidikan lainnya?
Permasalahan tersebut kian bermuara pada satu problem: kolonialisme. Kolonialismelah yang membawa kita semua dalam situasi seperti ini. Hal yang bisa kita lakukan untuk menanggulanginya adalah dekolonialisme. Salah satu konsep yang akan dipakai dalam artikel ini adalah dekolonialisme konseptual Kwasi Wiredu (1931–2022)
Menurut Kwasi Wiredu,
To define conceptual decolonization is easy enough. It is the elimination from our thought of modes of conceptualization that came to us through colonization and remain in our thinking owing to inertia rather than to our own reflective choices. But this is easier said than done (Wiredu, 2002, hal. 56).
Dengan akar yang berkaitan dengan multikulturalisme, pengajaran yang responsif terhadap budaya, dan gerakan-gerakan serupa, dekolonisasi mampu menunjukkan kegagalan kurikulum kontemporer merepresentasikan gagasan-gagasan dari orang-orang yang sebelumnya dijajah. Dan karenanya, tidak lengkap dan tidak seimbang sehingga membutuhkan koreksi terhadap administrasi dan pedagogi sekolah.
Dalam sebuah karya referensi utama, Oxford Handbook of Educational Philosophy, Martha Nussbaum memberikan pembahasan yang signifikan mengenai orientasi pendidikan semestinya. Ia mengidentifikasi tiga kemampuan penting dalam pendidikan yang telah hilang karena pendidikan publik yang bersifat teknokratis, yaitu
- kemampuan untuk berpikir kritis;
- kemampuan untuk melampaui loyalitas lokal dan untuk mendekati masalah-masalah dunia sebagai warga dunia; dan akhirnya,
- kemampuan untuk membayangkan secara simpatik kesulitan orang lain.
Kemampuan pertama dari kemampuan ini dapat dipahami sebagai “kritik diri dan pemikiran kritis tentang tradisi mereka sendiri,” dan yang kedua mengarah kepada sikap sebagai “warga negara yang fleksibel” yang dapat menyesuaikan pemikiran mereka dengan sifat realitas saat ini,” sementara kemampuan ketiga juga dapat digambarkan sebagai “imajinasi narasi tentang moral”. Menurut Nussbaum, sudah semestinya pendidikan mengarah satu sikap aktif yang senantiasa terbarukan dan terorientasikan kepada kebutuhan yang lebih besar. Oleh karena itu PPSMB Dialektika 2023 memilih tema “Rethinking Education Beyond The Common”.
Ya, pendidikan tampaknya selalu memiliki tujuan jelas dan ajek, baik bagi moral atau pembangunan material. Namun, satu hal yang sering luput dalam kita adalah pemikiran tentang pendidikan yang ideal. Sejauh ini, kita hanya bisa berhenti di “pendidikan yang mungkin”.
Daftar Pustaka
Curren, R. R. (Ed.). (2023). Handbook of Philosophy of Education. Taylor & Francis Group.
Dewey, J. (1997). Democracy and education : an introduction to the philosophy of education. Free Press.
Hebert, D. G. (Ed.). (2023). Comparative and Decolonial Studies in Philosophy of Education. Springer Nature Singapore.
Siegel, H. (Ed.). (2012). The Oxford Handbook of Philosophy of Education. OUP USA.
Siegel, H. (2023, June 2). Philosophy of education | History, Problems, Issues, & Tasks. Encyclopedia Britannica. Retrieved July 5, 2023, from https://www.britannica.com/topic/philosophy-of-education
Wiredu, K. (2002). Conceptual decolonization as an imperative in contemporary African philosophy : some personal reflections. Rue Descartes, 2(53). 10.3917/rdes.036.0053
Wiredu, K. (Ed.). (2007). A Companion to African Philosophy. Wiley.
/*! elementor – v3.14.0 – 26-06-2023 */
.elementor-widget-image{text-align:center}.elementor-widget-image a{display:inline-block}.elementor-widget-image a img[src$=”.svg”]{width:48px}.elementor-widget-image img{vertical-align:middle;display:inline-block}
PPSMB DIALEKTIKA 2023
Jl. Olahraga, Karang Malang, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281