Sumber : https://ugm.ac.id/id/berita/17732-prof.mukhtasar.syamsuddin.raih.guru.besar
Dosen Fakultas Filsafat UGM Prof. Dr. Mukhtasar Syamsuddin, M.Hum.,dikukuhkan sebagai Guru Besar pada bidang ilmu Filsafat, Rabu (6/3), di ruang balai senat, Gedung Pusat UGM. Dalam pidato pengukuhan yang berjudul Konsep Fundamental Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) dalam Kritik Filsafat Timur, Mukhtasar menyampaikan berbagai kajian filsafat timur dalam merespon kehadiran teknologi kecerdasan buatan.
Mukhtasar mengatakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bagian dari penanda revolusi digital dan penanda tersebut secara ektensif membingkai pola pikir dan perilaku manusia pada era revolusi industri 4.0. Namun demikian, kecerdasan buatan juga membawa persoalan filosofis yang perlu dikaji dan diselesaikan oleh bidang ilmu filsafat, sebab kecerdasan buatan berusaha memodelkan proses berpikir manusia dan mendesain mesin agar dapat menirukan perilaku manusia.
Seperti diketahui, kemunculan tren terbaru teknologi canggih revolusi industri 4.0 ini ditandai dengan revolusi digital melalui artificial intelligence (AI), e-commerce, big data, dan fintech. Namun salah satu komponen terbesar teknologi ini adalah mesin canggih. Teknologhi AI terus dikembangkan melaui sistem cerdas seperti soft computing, sebuah sistem yang memilah keahlian seperti manusia pada domain tertentu namun beradapatasi dan belajar agar dapat bekerja lebih baik jika terjadi perubaha lingkungan.
Berdasarkan kemamuan dan cara kerja tersebut diketahui bahwa soft computing dapat mengeksploitasi adanya toleransi terhadap ketidaktepatan, ketidakpastian, dan kebenaran parsial sehingga maslah dapat diselesaikan dan dikemndalikan dengan mudah. Jika AI secara fundamental dikonsepsikan sebagai kemampuan berpikir cerdas, maka timbul pertanyaan apakah mesin dapat berpikir cerdas seperti kecerdasan yang dimiliki manusia?
Mukhtasar menegaskan kecerdasan buatan tidak akan pernah bisa menyamai kemampuan manusia dalam memahami konteks, situasi atau tujuan secara teratur karena kecerdasan dan keahlian manusia bergantung terutama pada insting tidak sadar. “Pikiran manusia dan proses pemikirannya merupakan fenomena non reduksionis. Sementara komputer di sisi lain beroperasi menggunakan program reduksi manipulasi simbolik,” katanya.
Dalam pemikiran filsafat timur, kata Mukhtasar, sudah dilakukan berbagai kajian soal kecerdasan buatan ini, bagi Buddhisme, AI tilak memiliki citta atau memahami penciptaan pikiran dari entitas non-materi sehingga AI dianggap tidak dapat berpikir. Sementara dalam tradisi Taoisme, orang cerdas akan mampu merespon situasi secara berbeda dan tindakannya tidak bergantung pada standar subjektif tetapi pada situasi objektif karena orang cerdas mampu menyesuaikan diri dengan tubuh yang bergerak. Sebaliknya dalam tradisi Konfusianisme, kecerdasan dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat penilaian moral yang benar. Sehingga kecerdasan sangat menentukan seseorang dalam menilai perilaku benar dan salah.
Dalam kajian filsafat Pancasila, Mukhtasar menegaskan diperlukan pemikiran strategis yang perlu dikembangkan dalam merespon perkembangan dan dampak yang ditimbulkan teknologi AI ini melalui indigenisasi tata nilai kehidupan bangsa yang bertopang pada lima nilai universal Pancasila.”Diperlukan kecerdasan kolektif untuk memilah dan memilih teori termasuk konsep dasar yang diperlukan dalam membanguna kecerdaran buatan yang sesuai dengan filsafat pancasila,” ujarnya,
Namun yang tidak kalah penting, menurutnya, strategi masyarakat sebagai warga negara dalam merespon AI harus diikat oleh etika sosial yang berbasis pada nilai filsafat Pancasila.”Langkah strategis yang diperlukan lainnya adalah menanamkan dan menghidupkan kembali nilai-nilai etika sosial melalui proses pendidikan ditengah kehidupan masyarakat,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)