Senin (15/03/2021) pukul 15:00, Pusat Kajian Filsafat Islam (PKFI) Fakultas Filsafat mengenalkan sufisme dalam perspektif gender. Topik ini dikemas dalam acara Kelas Tasawwuf dengan tema Perempuan dan Kehidupan Spritual dalam Islam.
Kelas Tasawwuf daring dan terbuka untuk umum tersebut dilakukan atas kerjasama dengan Keluarga Muslim Filsafat (KMF) UGM. Mengawali Kelas Tasawwuf, teman-teman KMF menyisipkan Grand Launching kepengurusan KMF periode 2021 yang dibuka langsung oleh Dekan Fakultas Filsafat, Dr. Arqom Kuswanjono.
Kelas Tasawwuf merupakan salah satu agenda PKFI di tahun 2021. Tasawwuf sendiri merupakan bagian penting tak terpisahkan dari khazanah kefilsafatan Islam. Nicholson dalam The Mystic of Islam (1914) menyebut sufisme mewakili apa yang disebut sebagai islamic religious philosophy.
Sejauh ini sufisme Islam selalu dikaitkan dengan figur kaum Adam, padahal asketisme Islam memberi kesempatan luas bagi para sufi perempuan. Dr. Muhammad Hasan Muadz, Doktor Filsafat Islam dari Universitas Minyah Mesir, selaku pembicara dalam acara tersebut, menjelaskan: status gender bukan (alasan) penghalang keterlibatan perempuan dalam sufisme.
Interaksi dan pola kehidupan masyarakat terkadang menkondisikan perempuan tidak muncul di ranah publik, namun hal itu sama sekali tidak mereduksi kesetaraannya di hadapan laki-laki. Al-Qur’an secara eksplisit memandang setara antara kesalehan laki-laki dan perempuan. Kualitas seorang hamba tidak ditentukan gender melainkan oleh ketaqwaannya (QS. Al-Azhab ayat 35).
Perhatian Islam terhadap kaum perempuan juga tidak boleh diabaikan. Islam membebaskan perempuan dari perbudakan dan menggantikan kesewenang-wenangan di masa jahiliyyah dengan partisipasi lebih manusiawi, di antaranya, Islam memerintahkan laki-laki berbuat baik pada perempuan dan melarang menyusahkannya.
Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut (QS. Al-Nisa: 19).
Sufi Rabeah Adawiyah bukan satu-satunya sufi yang bicara dimensi spritualitas Islam. Dr. Muadz mengutip Dzikr al-Niswah al-Mutabbidât al-Shûfiyyât karya Abd. Al-Rahman Al-Silmi, menyebut tidak kurang dari 84 tokoh sufi perempuan yang berperan penting menghidupkan api spritualitas Islam, di antaranya, Rabeah Adaweyah, Fathima Nisaburi, Muadz Rabeah, Nusaibah Salman, Hukimah Dimasyqia, Ummu Ali Al-Balkhi dan lain sebagainya.
Tidak sedikit dari figur para sufi perempuan tersebut menjadi seorang guru spritual atau “syeikh” bagi asketisme kaum Adam, sebagaimana Rabeah Adawiyah yang sudah kita kenal itu. Di antara mereka juga meluaskan asketisme Islam dengan kegiatan filantropi seperti kedermawanan membantu masyarakat miskin. Mereka tampil dan mengerjakan tugas-tugas yang umumnya dilakukan laki-laki. Bagaimanapun sufi perempuan yang belum banyak dikenal dalam sejarah mengenalkan pemenuhan dimensi spritual Islam dengan sosial kemanusiaan.