Sumber : http://regional.kompas.com/read/2017/10/11/18300041/media-sosial-berpotensi-merobek-identitas-nusantara
YOGYAKARTA (11/10). Media sosial saat ini menjadi sarana komunikasi cukup penting bagi setiap orang. Sebuah penelitian terbaru menyebutkan bahwa dari 262 juta populasi Indonesia, 132.7 juta (51%) adalah pengguna internet, dan 106 juta (40%) adalah pengguna media sosial.
Melalui sarana media sosial, peristiwa sosial, ekonomi dan politik di tanah air tersebar begitu cepat. Bahkan, intensitas komunikasi yang terbentuk dalam media sosial, memunculkan persoalan-persoalan baru terkait kebhinekaan, pluralitas, dan identitas manusia.
“Media sosial terbukti mengubah identitas manusia hari ini menjadi manusia virtual. Pasalnya, identitas manusia dibentuk secara virtual, dan pada saat yang sama, manusia juga membentuk dirinya secara virtual”, demikian disampaikan Kelly Swazey dalam “5th International Conference on Nusantara Philosophy” yang mengambil tema Philosophy and Social Media: Towards Construction of Meaning and Nusantara Identity pada 11 Oktober 2017 di UC UGM.
Konsekuensinya, media sosial dapat menggeser kebudayaan manusia menjadi serba virtual. Budaya baru yang serba virtual tersebut, menurut Kelly, berpotensi mengubah makna identitas Nusantara menjadi virtual. Sehingga, dalam konteks pembentukan identitas Nusantara, kesadaran terhadap kehadiran media sosial tersebut perlu dicermati secara hati-hati.
Lebih lanjut, dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM tersebut, Kelly juga mengkritik beberapa penelitian yang menggunakan istilah peyoratif dalam memaknai identitas Nusantara. Misalnya, istilah “primitif” yang digunakan oleh peneliti asing untuk menyebut masyarakat lokal (indigenous people). Menurutnya, istilah tersebut bermasalah karena memberi kesan terbelakang pada masyarakat lokal yang dianggap belum tersentuh teknologi dan peradaban modern. Padahal, pada mereka kita bisa belajar banyak hal yang berharga untuk memaknai identitas Nusantara. “Namun, anehnya istilah tersebut juga digunakan sebagai judul berita oleh beberapa surat kabar di Indonesia”, ujar salah satu pengajar di CRCS UGM tersebut yang menulis papernya berjudul “Virtual Nusantara”.
Sementara itu, Ignatius Haryanto juga menyatakan bahwa masuknya media sosial juga memberikan tambahan komplikasi dalam melihat kebhinekaan Indonesia hari ini. “Kita sudah melihat bahwa kemunculan alat teknologi baru ini tidak menghasilkan suatu komunikasi dan dialog antara kelompok-kelompok yang saling berbeda pandangan. Yang muncul, justru peperangan terbuka baik dalam rupa fisik maupun sekadar media sosial. Bahkan, muncul hoax, kampaye hitam, dan penyebarluasan kebencian”, demikian kata Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara tersebut dalam paparan makalahnya berjudul “Philosophy, Social Media and Nusantara Identity”.
Selain menghadirkan Kelly Swazey dan Ignatius Haryanto, konferensi yang berlangsung pada 10-11 Oktober dan dibuka oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng. D.Eng., tersebut juga menghadirkan beberapa tokoh terkemuka di bidang filsafat, seperti Lasiyo, yang menyampaikan materi mengenai peran media bagi pengembangan Filsafat Nusantara, dan Tran Tuan Phong, pakar filsafat dari Institute of Philosophy Vietnamese Academy of Social Science, yang berbicara mengenai pembangunan berkelanjutan dari perspektif pemikiran ekologis dan etika konfusianisme.
“Melalui konferensi ini, diharapkan bermanfaat bagi pengembangan filsafat nusantara di tengah era kemajuan teknologi, demi mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkontribusi pada pembangunan global,” demikian kata Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng. D.Eng, dalam pembukaan Konferensi tersebut. [MNY/Filsafat UGM]