Masyarakat adat seringkali dipahami sebagai masyarakat konservatif yang hidup tertutup dan menganggap modernitas sebagai ancaman terhadap nilai budaya mereka. Namun demikian, hal sebaliknya ditemukan di masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, yang sangat terbuka dengan teknologi moden, bahkan menggunakan berbagai perangkat teknologi sebagai sarana untuk meneruskan tradisi.
Keunikan ini mendorong sekelompok mahasiswa UGM yang tergabung ke dalam tim Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) untuk melakukan penelitian di daerah tersebut pada tanggal 23-30 Juni lalu. Tim ini beranggotakan Nanda Ishaqi (Filsafat), Rahardhian Putra Pramana (Politik Pemerintahan), Ahmad Nilmadza Azmi (Filsafat), Noor Faiz Rasyid (Fisika), dan Fanisa Ratna Dewi (Filsafat). Kelima mahasiswa tersebut melakukan penelitian di bawah bimbingan dosen Fakultas Filsafat, Dr. Abdul Rokhmat Sairah.
“Kemampuan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar untuk merangkai teknologi modern ke dalam rutinitas keseharian mereka tanpa mengabaikan nilai-nilai tradisi menjadi bentuk bahwa terdapat dinamika nilai-nilai tradisionalitas dan modernitas,” tutur Nanda selaku Ketua Tim PKM.
Ia menerangkan, keunikan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar terdapat pada cara mereka menyebarkan nilai-nilai budaya masyarakat menggunakan sarana televisi melalui stasiun tv lokal yakni CIGA TV. Semua kegiatan adat diabadikan melalui video dan ditayangkan melalui CIGA TV sebagai bentuk sarana penyampaian tradisi kepada generasi selanjutnya. Hal menarik lainnya, terdapat akses internet Wi-Fi yang mencakup radius 30 km di Kasepuhan Ciptagelar.
“Teknologi informasi seperti CIGA TV digunakan sebagai penyampaian nilai dan tradisi kebudayaan, karena masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tidak mengenal budaya tulis menulis sebagai penyampaian nilai dan tradisi. Wi-Fi dan channel TV lokal CIGA TV mereka kelola secara mandiri sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat adat,” imbuh Azmi.
Melalui riset yang telah dilakukan tim ini menemukan bahwa responsivitas struktur budaya ini juga dapat dilihat pada sejarah kasepuhan Ciptagelar. Era Sirnarasa pada tahun 1980 menjadi penanda sebuah periode di mana asepuhan mulai terbuka kepada perkembangan teknologi untuk kepentingan penyebaran tradisi adat.
“Teknologi pertama adalah teknologi dinamo listrik pada tahun 1988 dilanjutkan dengan masuknya teknologi PLTmh dengan bantuan luar negeri pada tahun 2000, dan setelahnya masuk radio FM, stasiun televisi lokal, dan teknologi internet Wi-Fi,” terang Faiz.
Tim ini juga menggali kepercayaan atau prinsip hidup masyarakat adat, salah satunya gagasan tentang hirup salaras dan salurus. Salaras berarti hidup sesuai dengan alam serta perkembangan zaman, dan salurus berarti hidup dengan tetap sesuai dengan perintah leluhur. Ada pula semboyan masyarakat setempat yang mengandung makna bahwa masyarakat harus bisa hidup sesuai dengan perkembangan zaman, namun di saat yang sama juga tidak boleh terlarut dalam perkembangan zaman.
Gagasan-gagasan tersebut, menurut para mahasiswa, merupakan ide awal yang mendasari adanya harmonisasi antara tradisionalitas dan modernitas, yang akhirnya bersinggungan secara langsung pada penerapan teknologi modern seperti stasiun televisi lokal dan jaringan internet dalam kehidupan masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.