Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan diskusi buku The Constitution of Science karya Chrysostomos Mantzavinos, profesor dari University of Athens, secara daring melalui Zoom pada 12 September lalu.
Acara ini menghadirkan langsung sang penulis sebagai narasumber utama, dengan pembahas Risalatul Hukmi yang memberi respon kritis terhadap isi buku yang diterbitkan Cambridge University Press pada akhir 2024.Dalam paparannya, Mantzavinos menekankan bahwa sains adalah pencapaian luar biasa umat manusia sekaligus proyek yang tidak pernah selesai. Ia menyatakan:
“Sains adalah salah satu upaya manusia yang paling berhasil. Sains membutuhkan nilai. Nilai epistemik seperti kebenaran, konsistensi, koherensi, dan sebagainya, tetapi juga nilai non-epistemik seperti kebebasan, kejujuran, integritas, dan lain-lain. Setiap upaya untuk membenarkan sebuah nilai jatuh ke dalam lingkaran logis, regresi tanpa akhir, atau asumsi dogmatis. Cara terbaik menghadapi Trilemma Münchhausen adalah dengan mengadopsi fallibilisme, pluralisme nilai, dan prinsip pemeriksaan kritis.”
Ia juga menyoroti pentingnya memahami sains dalam kerangka sosial dan institusional, bukan hanya sebagai kegiatan individual. “Institusi adalah aturan main, organisasi adalah para pemainnya. Sains adalah permainan sosial di mana individu dan organisasi ilmiah mengejar berbagai tujuan. Agar permainan ini berjalan sehat, kita membutuhkan konstitusi sains yang menjamin kebebasan berekspresi, kontrol rasional melalui diskusi kritis, serta persaingan ilmiah yang sehat. Prinsip-prinsip prosedural seperti keterbukaan akses dan sinergi institusi formal maupun informal adalah syarat agar otonomi sains dapat terus dipertahankan,” terangnya.
Menutup pemaparannya, Mantzavinos menegaskan perlunya internasionalisasi sebagai benteng otonomi ilmu pengetahuan. “Cara paling efektif untuk menjamin otonomi sains adalah internasionalisasi. Ilmuwan memiliki tanah air, tetapi sains tidak. Kosmopolitanisme mungkin mustahil bagi warga negara maupun ilmuwan, tetapi sains bisa tetap kosmopolit sejauh ethos dan metodologinya dijaga oleh komunitas ilmuwan. Hanya dengan cara ini, sains dapat bertahan sebagai proyek universal umat manusia, bebas dari dominasi politik dan ekonomi yang sempit,” tegasnya.