Sebagai bagian dari rangkaian Philosophy Book Fair 2025, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan diskusi bertema “AI untuk Media, AI untuk Jurnalis” pada Jumat, 31 Oktober 2025. Kegiatan ini menghadirkan tiga pembicara: Dekan Fakultas Filsafat UGM Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, Direktur Pandangan Jogja Eko S. Putro, serta Kepala Biro Kompas Jateng–DIY Haris Firdaus.
Dalam pengantarnya, Dekan Fakultas Filsafat mengangkat persoalan etika yang muncul akibat penggunaan kecerdasan buatan dalam ruang redaksi. Ia mempertanyakan batas antara karya manusia dan karya mesin yang semakin memudar. Ia juga menggambarkan skenario sebuah newsroom yang memproduksi berita secara otomatis, tanpa proses reportase manusia. “Bayangkan jika menjelang tenggat, mesin hanya menyelaraskan naskah lalu unggah. Ketika itu direproduksi terus-menerus dan diterima publik sebagai pengetahuan, persoalan apa yang akan muncul?”
Menurutnya, dilema terbesar bukan sekadar soal teknologi, tetapi tentang tanggung jawab etik. Jika jurnalis tidak melakukan reportase dan materi berita hanya disusun dari prompt dan data yang tidak diverifikasi, publik berpotensi menerima informasi yang menyesatkan. Namun, ia menekankan bahwa melawan arus teknologi bukanlah pilihan.
“Berita yang terus diulang lama-lama bisa dianggap kebenaran. Itu mengerikan jika tidak kita antisipasi. “Satu-satunya jalan adalah beradaptasi. Teknologi ini sebaiknya kita jadikan kolaborator, bukan lawan. Dengan itu kemanusiaan kita justru bisa meningkat, bukan hilang,” tegasnya.
Pandangan mengenai AI sebagai bagian dari perubahan besar juga disampaikan oleh Eko S. Putro. Ia menolak melihat AI sebagai alat teknis semata. AI menurutnya bukan alat, tapi cara hidup baru. Ia membandingkan hadirnya AI dengan revolusi teknologi sebelumnya—listrik, komputer, dan internet—yang mengubah pola hidup manusia secara menyeluruh.
Dalam konteks jurnalisme, menurut Eko, AI harus menjadi sarana untuk memperkuat kepercayaan publik. Menulis berita dengan bantuan AI dimungkinkan, tetapi tidak boleh mengabaikan proses verifikasi. “Kalau menggunakan AI tapi meninggalkan verifikasi, itu bukan media. Pesan utamanya bukan efisiensi, tapi peningkatan kualitas kerja dan manusia,” ujarnya. Ia menambahkan, dengan AI yang digunakan secara bijaksana, “manusia justru bisa bekerja lebih manusiawi.”

Sementara itu, Haris Firdaus memberikan gambaran konkret mengenai praktik penggunaan AI dalam kerja jurnalistik. Menurutnya, kecerdasan buatan sudah lama membantu jurnalis bahkan sebelum era model bahasa besar. “AI sudah digunakan jauh sebelum ChatGPT—untuk transkripsi, riset, menerjemahkan dokumen, dan meringkas data.” Ia mencontohkan bagaimana tim Jurnalisme Data Kompas pernah meninjau ratusan putusan pengadilan yang tebalnya ribuan halaman.
Haris juga memaparkan praktik media internasional, seperti algoritma pendeteksi korupsi di Peru atau teknologi deteksi tambang ilegal di Ukraina berdasarkan citra satelit. Di Indonesia sendiri, beberapa media sedang menguji chatbot berbasis liputan mereka. Meski demikian, ia mengingatkan bahaya jika jurnalis menggantungkan seluruh proses penulisan pada AI.
“LLM punya potensi halusinasi besar karena ia tidak memahami teks seperti manusia,” ujarnya. Ketika wartawan hanya memasukkan rekaman wawancara dan meminta AI menuliskan beritanya, konteks lapangan akan hilang—intonasi, gestur narasumber, suasana ruang, bahkan intuisi jurnalistik. “Jurnalisme itu bukan hanya menulis informasi. Ia membawa konteks, empati, dan keberpihakan pada publik yang tertindas. Itu tidak akan terjadi jika diserahkan kepada AI,” tegasnya.
Haris menutup dengan menekankan pentingnya pedoman penggunaan AI dalam jurnalisme. Indonesia beruntung karena Dewan Pers telah menerbitkan panduan yang menegaskan bahwa manusia tetap harus mengawasi dan memverifikasi seluruh proses. “AI harus memberi nilai tambah, bukan menurunkan kualitas,” ujarnya.