Sebagai bagian dari rangkaian Philosophy Book Fair dan Simposium Nasional Filsafat Nusantara, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menggelar diskusi buku “Saya, Jawa, dan Islam” karya Irfan Afifi, Senin (27/10) di Selasar Fakultas Filsafat UGM. Acara ini menghadirkan sang penulis sebagai narasumber utama dan Fahri Jundi sebagai penanggap.
Buku Saya, Jawa, dan Islam merupakan karya perdana Irfan Afifi. Tulisan-tulisan di dalamnya merupakan kumpulan pergulatan reflektif penulis dalam memahami diri dan keberadaannya sebagai orang Jawa yang beragama Islam. Meski awalnya tidak diniatkan sebagai satu bangunan buku yang utuh, karya ini justru memperlihatkan kesatuan perjalanan intelektual dan spiritual yang lahir dari perenungan panjang penulis.
Dalam pengantarnya, Irfan menulis bahwa pencarian tersebut berakar dari kesadaran untuk mengenali diri: siapa dirinya, dari mana asalnya, dan ke mana hendak melangkah. “Saya orang Jawa yang beragama Islam itu harus rela menerima kemestian bahwa saya ‘terpaksa’ lahir di sebuah dusun di Jawa, dengan seluruh perangkat tradisi, budaya, dan praktik keseharian yang membentuk diri,” tulisnya dalam buku tersebut.
Dalam sesi diskusi, Irfan menegaskan bahwa karya ini tidak lahir semata dari kerja akademik, melainkan dari laku dan pergulatan batin yang panjang. “Dari pergulatan itu lahirlah buku ini. Itu bukan kerja intelektual saya semata, bukan sekadar penelitian. Ini adalah laku saya, karena dorongan jiwa saya yang bertanya-tanya. Rekaman dari perjalanan rohani dan pergulatan intelektual sebagai seorang manusia yang eksis,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa karya tersebut berakar dari pengalaman personal yang justru bermula di Fakultas Filsafat UGM. “Yang ingin saya tekankan, ini cerita terkait pergolakan saya yang dimulai dari Fakultas Filsafat ini. Kalau Anda bekerja, bertanya, melakukan sesuatu yang melibatkan jiwa Anda yang paling depan, maka karyamu itu akan memiliki jiwa, pasti akan menggerakkan,” tuturnya.

Irfan juga menyampaikan bahwa salah satu semangat utama dalam bukunya adalah menggugat cara pandang para peneliti kolonial terhadap kebudayaan Jawa. “Saya merasa para peneliti dulu meneliti Jawa bukan dalam rangka objektivitas murni, mereka meneliti kita itu dalam rangka menundukkan kita. Makanya biasnya bisa disengaja, bisa tidak disengaja, bahkan tidak disadari oleh penelitinya sendiri,” ujarnya.
Diskusi berlangsung hangat dan reflektif, mengajak peserta menelusuri hubungan antara filsafat, tradisi, dan spiritualitas dalam konteks kejawaan dan keislaman. Melalui kisah dan refleksi personal Irfan Afifi, peserta diajak memahami bahwa pergulatan filosofis bukan semata urusan rasionalitas, melainkan juga perjalanan jiwa dan kesadaran eksistensial.