Pada Kamis, 30 Oktober 2025 lalu, Fakultas Filsafat menyelenggarakan kegiatan Diskusi Buku dan Budaya bersama pemikir budaya Taufik Rahzen dan sastrawan Aguk Irawan. Kegiatan ini menghadirkan pembacaan ulang terhadap peran buku, aksara, dan tradisi literasi sebagai penjaga ingatan kolektif Nusantara sekaligus medan pertarungan budaya di tengah perkembangan digital.
Dalam paparannya, Taufik Rahzen mengajak audiens menelusuri kembali bagaimana prasasti dan inskripsi kuno menjadi penanda penting perjalanan peradaban Indonesia. Ia menyebut Yupa Kutai, Prasasti Tugu, dan berbagai prasasti lain bukan hanya catatan administratif, tetapi “kode kosmologis yang merekam siklus panjang sejarah Nusantara.”
Ia menjelaskan bahwa siklus 400 hingga 1600 tahun yang dikenal dalam tradisi kosmologi lokal tampak berulang dalam berbagai titik sejarah, seperti pembangunan Borobudur pada 824 M, munculnya Majapahit pada 1224 M, dan masa Sultan Agung pada 1624 M. “Kita sebenarnya hidup dalam pola yang lebih besar daripada yang kita bayangkan. Prasasti-prasasti itu bukan kemarin sore dibaca, mereka sudah mencatat arah gerak sejarah jauh sebelum kita lahir,” ujarnya.
Rahzen juga menyinggung keberadaan Kalangwan, kelompok elite penjaga pengetahuan Nusantara yang menggunakan aksara Kawi bukan sekadar sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai medium penyandian pengetahuan. Ia menegaskan bahwa sebagian besar lapisan makna dalam teks-teks kuno sebenarnya tidak dapat dibaca hanya dengan pendekatan linguistik modern. “Aksara kita dulu bukan cuma huruf, tapi mandala kesadaran. Begitu aksara itu hilang, kita kehilangan cara membaca diri sendiri,” katanya.
Sementara itu, Aguk Irawan menyoroti relasi antara bahasa dan penciptaan realitas. Ia mengutip pandangan Ibnu Arabi bahwa dunia hadir melalui kata—kun fayakun. Dalam konteks itu, buku bagi Aguk bukanlah benda mati, melainkan “wadah nilai, moralitas, dan peradaban.” Ia menambahkan, meskipun kini manusia hidup di tengah banjir informasi digital, posisi kata sebagai medium pengetahuan tidak tergeser. “Teknologi datang dan pergi, tetapi makna hanya bisa dijaga oleh bahasa. Buku adalah rumah bagi makna itu,” tegasnya.

Keduanya kemudian menyoroti masa ketika budaya literasi menjadi landasan kebangkitan peradaban, seperti pada era ketika Al-Ma’mun membangun gerakan besar-besaran penerjemahan karya klasik, hingga Jepang pascaperang yang menggunakan buku dan pendidikan sebagai pintu keluar dari kehancuran. Contoh-contoh tersebut, menurut Aguk, menunjukkan bahwa tidak ada bangsa yang tumbuh tanpa pondasi literasi yang kuat.
Diskusi juga membahas tantangan era digital. Akses informasi yang semakin terbuka di satu sisi memberi peluang besar, namun di sisi lain memunculkan krisis makna dan kehilangan kedalaman. Menutup diskusi, kedua narasumber sepakat bahwa buku, aksara, dan tradisi membaca tetap menjadi tulang punggung peradaban, meskipun bentuknya mungkin akan terus berubah.