Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali melanjutkan rangkaian Lecture Series dalam rangka World Logic Day dengan Dr. Sara L. Uckerman dari Durham University, United Kingdom, sebagai narasumber utama. Pada sesi kedua yang berlangsung kemarin (6/1), Sara membawakan tema yang menarik dan mendalam, yakni “Fiction Writing as Philosophical Methodology”. Dalam sesi ini, Sara mengawali pemaparannya dengan membahas metodologi dalam filsafat secara umum, khususnya pendekatan dalam tradisi filsafat analitik.
Ia menjelaskan bahwa metodologi filosofis sering kali melibatkan eksperimen pikiran (thought experiments) yang berfungsi untuk menguji intuisi dan menguraikan argumen filosofis. Ia menekankan bahwa eksperimen pikiran berbeda dengan eksperimen ilmiah. Jika dalam eksperimen ilmiah peneliti melakukan pengamatan langsung di dunia nyata, eksperimen pikiran sepenuhnya bersifat imajinatif. Seseorang merancang skenario hipotesis yang tidak selalu terjadi di dunia nyata, tetapi berguna untuk menguji ide dan intuisi filosofis.
Sara kemudian memberikan contoh klasik dari eksperimen pikiran, yaitu The Trolley Problem. Ia menggambarkan skenario di mana sebuah kereta (trolley) melaju di jalur yang bercabang. Di satu jalur, terdapat lima orang yang terikat dan tidak dapat menyelamatkan diri, sementara di jalur lain hanya ada satu orang yang terikat. Seseorang memiliki kesempatan untuk menarik tuas yang akan mengalihkan kereta ke jalur yang hanya akan melukai satu orang tersebut. Skenario ini, meskipun tidak realistis, menguji intuisi etis kita tentang tindakan aktif, yaitu menarik tuas, versus kelalaian, yaitu membiarkan kereta melaju.
“Eksperimen pikiran seperti ini membantu kita memahami pertanyaan mendalam tentang bagaimana kita menilai kehidupan manusia dan bagaimana kita membedakan antara membunuh dan membiarkan seseorang mati,” ujarSara.
Menurutnya, eksperimen pikiran dalam filsafat berfungsi sebagai bentuk fiksi yang diarahkan pada tujuan tertentu, yaitu mengeksplorasi implikasi dari asumsi atau prinsip tertentu dalam suatu teori. Metodologi ini memungkinkan seseorang untuk membangun skenario kompleks yang dapat mengungkap aspek-aspek tersembunyi dari suatu argumen. Sara juga menekankan bahwa fiksi filosofis bukanlah sekadar hiburan, melainkan alat serius untuk berpikir secara sistematis dan kritis.
Sesi kedua ini berhasil membuka wawasan baru bagi peserta tentang peran penting fiksi dalam metodologi filosofis. Melalui pendekatan yang sistematis dan contoh-contoh konkret, Sara berhasil menunjukkan bahwa penulisan fiksi bukan sekadar aktivitas kreatif, tetapi juga alat analisis filosofis yang kuat. Rangkaian Lecture Series ini akan dilanjutkan dengan sesi publik bertema *”Why Logic Matters”* pada 7 Januari 2025. Acara ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang relevansi logika dalam kehidupan sehari-hari dan praktik akademis.