Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Simposium Nasional Filsafat Nusantara 2025 dengan tema “Dekolonialitas, Keadilan Epistemik, dan Masa Depan Filsafat Nusantara” pada Selasa, 28 Oktober 2025, di Ruang Sidang Persatuan Fakultas Filsafat UGM. Kegiatan ini menjadi forum penting bagi para akademisi, peneliti, dan pemerhati filsafat untuk membicarakan arah pengembangan filsafat nusantara di tengah tantangan global.
Simposium ini merupakan agenda rutin yang diselenggarakan oleh Laboratorium Filsafat Nusantara (Lafinus). Dekan Fakultas Filsafat UGM, Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum., dalam sambutannya menekankan bahwa pembahasan tentang Nusantara selama ini sering kali masih dipengaruhi oleh perspektif Barat. “Bicara soal Nusantara selalu saja perspektif dari Barat. Tarik-menarik antar dinamika yang ada di dalamnya, dekolonialitas dan keadilan epistemik menjadi tema yang menarik untuk kita diskusikan lebih lanjut,” ujarnya.
Sebagai moderator, Dr. Rodinal Khair K. menegaskan bahwa simposium ini dirancang sebagai wadah untuk bersama-sama membangun kejernihan jalan dalam pengembangan filsafat nusantara. Ia menyampaikan, “Kalau kita berkaca pada pengembangan filsafat di level global, sudah ada beberapa yang dibilang well-established, yang berangkat dari indigenous philosophy. Simposium ini ditujukan agar kita bisa berkontribusi menyumbangkan pemikiran, bagaimana kita ke depannya akan membangun filsafat nusantara ini, termasuk metodologinya.”
Paparan pertama disampaikan oleh Dr. Heri Santoso (Universitas Gadjah Mada) yang menyoroti pentingnya kesadaran dekolonial dalam berpikir dan berfilsafat. Ia mengingatkan bahwa meskipun kolonialisme secara politis telah berakhir, jejaknya masih melekat dalam cara berpikir masyarakat.
“Kalau lihat sejarah bangsa Indonesia, meskipun penjajah sudah pergi namun mentalitas inlander itu masih bersarang. Apapun yang berbau asing masih diapresiasi baik. Penjajahan terbesar bukan hanya pada politik, negara, dan hukum, tetapi pada cara hidup, cara berpikir, dan berilmu,” tegasnya. Menurut Heri, kajian filosofis harus berpijak pada konteks sosio-historis, kultural, dan religius bangsa agar tetap kritis, tidak ahistoris, dan bermakna.
Sementara itu, Dr. A. Setyo Wibowo (STF Driyarkara) memaparkan karakteristik cara berpikir khas Indonesia yang berbeda dengan tradisi Barat. Ia menjelaskan bahwa dalam filsafat nusantara terdapat kecenderungan untuk menolak dikotomi dan dialektika yang keras.
“Cara berpikir khas Indonesia itu anti-dialektika, punya selera tinggi pada paradoks, tidak boleh ada oposisi. Ia menekankan laku atau praktik, bukan pada kebenaran hasil, yang penting adalah proses. Filsafat kita juga bersifat mistis, transendental, dan menekankan harmoni kosmik,” paparnya.
Dari perspektif filsafat budaya dan politik, Min Seong Kim, Ph.D. (Universitas Sanata Dharma) mengangkat refleksi kritis mengenai makna “Nusantara” dalam imajinasi ideologis Indonesia. Menurutnya, “‘Nusantara’ beroperasi sebagai salah satu penanda sentral dalam imajinasi kultural, ideologis, dan geopolitik Indonesia.
Ia menambahkan bahwa dalam wacana kenegaraan, Nusantara kerap dijinakkan menjadi “reservoir budaya” yang tunduk pada ideologi negara. “Wacana negara menuntut agar Nusantara menjadi sumber karakter nasional dan legitimasi ideologi, sekaligus menundukkan kekayaan dan keragamannya agar tetap patuh pada gagasan kesatuan,” jelas Kim.
Paparan terakhir disampaikan oleh Dr. Luh Gede Saraswati Putri (Universitas Indonesia) yang menyoroti dimensi praksis dan spiritual dalam filsafat nusantara. Ia menilai bahwa kekhasan filsafat nusantara terletak pada keterhubungan manusia dengan alam dan roh, serta pada pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari.
“Filsafat nusantara tidak bisa dilepaskan dari laku atau cara hidup yang menekankan keterhubungan antara manusia, alam, dan roh. Ada penekanan besar pada pengalaman langsung dan spontanitas subjek. Filsafatnya tidak bisa dipisahkan dari tindakan dan aksi-aksi yang dijalani secara kolektif,” ujarnya.
Simposium ini menghadirkan dialog yang kaya antara tradisi, konteks sosial, dan refleksi akademik. Dekolonialitas dan keadilan epistemik tidak hanya dibahas sebagai konsep, tetapi juga sebagai panggilan etis untuk menumbuhkan cara berpikir yang berakar pada pengalaman dan kebijaksanaan lokal. Melalui kegiatan ini, Fakultas Filsafat UGM menegaskan komitmennya untuk terus menjadi ruang pengembangan filsafat nusantara yang inklusif, kritis, dan relevan bagi masa depan bangsa.