Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) dan Kementerian Kebudayaan RI menyelenggarakan Sarasehan Wayang dengan tema “Urgensi Perlindungan Kekayaan Intelektual Seni Pewayangan dan/atau Pedalangan” pada tanggal 22 Agustus lalu. Acara yang dihadiri pegiat seni, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum ini menjadi ruang penting untuk membicarakan perlindungan warisan budaya adiluhung bangsa di tengah tantangan zaman modern.
Dekan Fakultas Filsafat UGM, Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum., menyampaikan bahwa perlindungan kekayaan intelektual menjadi sangat penting di era kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), yang kerap membuat batas antara karya asli dan tiruan semakin kabur.
“Suatu kehormatan bagi Fakultas Filsafat berada bersama para pegiat wayang. Saat yang tepat ketika kita membicarakan urgensi perlindungan kekayaan intelektual seni pewayangan ataupun pedalangan di tengah era dunia yang sedang dikepung oleh AI,” ungkapnya.

Fokus sarasehan ini adalah merumuskan strategi menghadapi tantangan besar terkait perlindungan seni pewayangan. Direktur Pemberdayaan Nilai Budaya dan Fasilitasi Kekayaan Intelektual Kementerian Kebudayaan RI, Yayuk Sri Budi Rahayu, S.Sos., M.Pd., menekankan bahwa perlindungan hak cipta dalang dan seniman pewayangan menjadi semakin mendesak.
“Wayang yang sudah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO, yang penting bukan penetapannya, tetapi setelah ditetapkan kita mau ngapain. Wayang bukan hanya sekadar pertunjukan seni, tapi ini adalah cerminan nilai-nilai luhur, filosofi hidup, dan warisan budaya adiluhung bangsa Indonesia,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa di satu sisi teknologi membuka peluang besar bagi wayang untuk menjangkau audiens yang lebih luas, baik nasional maupun internasional. Namun, di sisi lain, kemudahan replikasi dan penyebaran karya di era digital juga membuka risiko eksploitasi.
“Karya atau ciptaan para dalang atau seniman pewayangan itu mudah sekali diadaptasi atau direproduksi tanpa persetujuan atau bahkan diklaim secara sepihak. Arus informasi saat ini memang tak terbendung, tetapi bagaimana warisan budaya kita ini yang rentan sekali terhadap eksploitasi bisa kita hadapi dengan baik. Ekspresi budaya tradisional ini harus kita pikirkan ke depannya,” tegasnya.
Kegiatan ini menjadi bagian dari peringatan ulang tahun Senawangi ke-50. Ketua Umum Senawangi, Marsekal Madya TNI (Purn.) FH Bambang Soelistyo, S.Sos., dalam sambutannya menegaskan bahwa usia 50 tahun bagi Senawangi adalah momentum kematangan.
“Diharapkan Senawangi ke depan tetap berusaha keras bersama-sama, berkolaborasi dengan para sesepuh dan generasi muda untuk terus berjuang mempertahankan eksisnya dunia pewayangan dan pedalangan di nusantara,” ujarnya. Ia berharap sarasehan ini dapat melahirkan gagasan baru bagi generasi muda dalam melihat dunia pewayangan, terutama terkait isu perlindungan hak kekayaan intelektual.